MEMBANGUN
MORALITAS RELIGIUS DALAM PENDIDIKAN
DI ERA POST POST MODERN
A. Pendahuluan
Dalam
perkembangan dunia seperti saat ini, akan muncul berbagai macam pengaruh, baik
yang bersifat positif atau negatif. Pengaruh – pengaruh mana yang akan
mendominasi dalam kehidupan kita , semua itu tergantung dari diri kita pribadi
khususnya dalam menyaring dan menyingkapi segala yang ada dan yang mungkin ada
. Bersumber dari perkuliahan filsafat ilmu tanggal 4 Maret 2014 oleh Prof.
Marsigit, bahwa pengaruh merupakan kombinasi antara daya berpikir dan kemampuan
– kemampuan lain yang bersinergis.
Menurut Marsigit (http://powermathematics.blogspot.com/2012/11),
bahwa pengaruh perkembangan dunia oleh
Paul Ernest yang digambarkan dalam peta dunia pendidikan menunjukkan arus besar
perubahan dunia yang juga memunculkan perubahan dalam filsafat pendidikan,secara
umum oleh Paul Ernest , dunia pendidikan dibagi menjadi lima antara lain dunia
pendidikan kaum industrialis , dunia pendidikan kaum konservatif feodal , dunia pendidikan kaum old humanis , dunia pendidikan kaum progresif dan dunia pendidikan
kaum socio-constructivist.
Peta dunia pendidikan yang digambarkan oleh
Paul Ernest tersebut jelas – jelas menggambarkan bagaimana dunia pendidikan
suatu masyarakat yang condong pada salah satu paham tersebut, ditambah lagi
kenyataan yang ada saat ini, dimana kita tengah berada pada struktur dunia yang
sangat dominan dipengaruhi oleh post post modern, dan tentu saja kita harus
mengantisipasi segala pengaruh – pengaruh yang bisa muncul ke masyarakat
khususnya bagi perkembangan siswa. Pengaruh yang bisa diterima oleh siswa –
siswi kita tidak akan jauh dari pembentukan karakter dan tentunya juga
berhubungan dengan moral dan spiritual mereka. Menurut Mulyadi (2010: 5) adanya
dekandensi moral anak bangsa akan berakibat penurunan harkat dan martabat
kemanusiaan. Dalam kondisi seperti itu, maka diperlukan pemahaman dan kerjasama
semua pihak untuk memikirkan moralitas siswa khususnya sebagai generasi penerus
bangsa dengan merujuk pada filsafat moral. Oleh karena itu, penting bagi kita, khususnya
sebagai seorang guru, untuk mampu berpikir kritis dalam menyingkapi semua itu.
Hal yang mungkin bisa kita lakukan adalah dengan mencoba membangun moralitas spiritualitas
dalam bidang pendidikan khususnya ditujukan pada siswa agar tidak tergerus oleh
laju perubahan dunia sebagai suatu produk negative dari post post modern
tersebut.
B. Pengertian Moral, Moralitas dan Moralitas
Religius
Moral
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena moral memegang peranan penting dalam memberikan penilaian seseorang
tentang baik buruk perilaku sehinga moral dapat menunjukkan identitas dan pola
perilaku manusia. Pengertian moral memiliki arti ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan , sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti,
susila dan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan (Kamus Besar Bahsa
Indonesia, 1991:665).
Menurut
Widjaja ( http://staff.uny.ac.id
), moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan. Menurut
Kaelan (2001: 180), moral adalah suatu ajaran wejangan – wejangan, patoka –
patokan, kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimanamanusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Moral
(Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang
lain dalam tindakan yang memiliki nilai posistif. Moral secara eksplisit adalah
hal – hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu dan tanpa moral
manusia tidak bisa melakukan sosialisai ( http://id.wikipedia.org/wiki/Moral
). Moral memiliki tiga unsur utama yaitu disiplin, keterikatan pada kelompok
dan otonomi kehendak manusia (Djuretna,1994: 126).
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa moral adalah ajaran yang digunakan sebagai
landasan atau dasar seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupan agar
menjdai manusia yang baik.
Menurut
Suseno (1987, 17), bahwa di dalam masyarakat selain penilaian moral terdapat
juga norma moral yang dipakai untuk mengukur kebaikan seseorang, oleh karena
itu dengan norma – norma moral kita benar – benar di nilai, itulah sebabnya
nilai moral harus benar – benar berbobot.
Dengan
adanya penilaian moral dalam masyarakat, maka kita tidak akan lepas dari hukum
yang secara tertulis ataupun tidak tertulis berkembang di dalam masyarakat
tersebut. Oleh karena itu, dalam berprilaku seseorang harus mampu mengendalikan
segala kebiasaan tidak baiknya, atau dengan kata lain dalam hidup bermasyarakat,
agar seseorang mendapat penilaian yang baik atas moralnya maka dia harus sopan
dan santun terhadap ruang dan waktunya.
Durkheim
mengatakan bahwa moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai
kaidah yang menentukan tingkah laku kita.(Taufik,1986:12). Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu
benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas mencakup
pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia (Poespopropdjo, 1988: 68). Kohlberg
(Reimer,1995:17), moralitas bukanlah suatu koleksi dari aturan – aturan , norma
– norma atau kelakuan – kelakuan tertentu tetapi merupakan perspektif atau cara
pandang tertentu. Moralitas merupakan fakta social yang khas dan dalam semua
bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat, dalam arti pasti hidup
dalam masyarakat social (Djuretna,1994:126).
Menurut
Imanuel Kant (Lily, 2001: 14-15), moralitas dibedakan menjadi dua yaitu
moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom merupakan suatu
sikap dimana kewajiban ditaati dan
dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang
berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri, sedangkan moralitas otonom
merupakan kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai suatu yang
dikehendakinya karena diyakini sebagai hal yang baik.
Berdasarkan
pengertian moralitas tersebut, maka dapat disimpulkan moralitas merupakan
aturan tentang kesusilaan yang mengatur dan mengikat perilaku social manusia
agar terwujud dinamisasi kehidupan bermasyarakat.
Sehubungan
dengan moral dan moralitas, maka tidak akan lepas dari moralitas dari sisi
spiritual. Menurut Kant (Tjahjadi, 1991: 57) , bahwa moralitas keagamaan
merupakan sikap manusia berkenaan dengan penyelarasan dirinya dengan kehendak
dan perintah Allah. Moralitas dalam Islam tidak saja sebagai sebuah pengetahuan
tentang kebaikan dan keburukan yang berkaitan dengan epistemology, melainkan
merupakan wujud itu sendiri dalam perkembangannya. ( http://directory.umm.ac.id
)
Agama
merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dalam pembentukan moral seseorang.
Dalam Islam terdapat lima nilai moral antara lain nilai pembebasan, nilai
keluarga, nilai kemanusiaan, nilai keadilan, nilai kejujuran (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral_Islam).
Menurut Hendropuspito (2000: 45), agama merasa ikut bertanggung jawab atas
adanya norma – norma susila yang diberlakukan atas masyarakat pada umumya.
Agama akan menyeleksi kaidah – kaidah susila yang ada dan mengukuhkan yang baik
dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagi larangan. Agama juga
memberi sanksi – sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya
dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
Berdasarkan
pengertian – pengertian tersebut , maka dapat diambil kesimpulan bahwa
moralitas religious, dalam hal ini agama merupakan fondasi dalam kita berbuat,
berprilaku dan bertindak dan dalam pergaulan kita di masyarakat.
C. Moralitas Religius dalam Pandangan
Filsafat
Filsafat
adalah kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, secara refleksi
menangkap makna hakiki keseluruhan yang ada. Objek filsafat bersifat universal,
mencakup segala yang dialami oleh manusia. Berpikir secara filsafat adalah
mencari arti yang sebenarnya segala hal yang ada melalui pandangan cakrawala
yang paling luas dan metode pemikiran filsafat adalah refleksi atas pengalaman
dan pengertian tentang sesuatu hal yaitu tentang cakrawala yang universal (Huijbers,1995:
3). Alisjahbana(1957: 16), Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa filsafat itu
tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada, sementara
Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan
asa segala benda. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) filsafat itu ilmu pokok dan
pangkal segala pengetahuan yang mencakup didalamnya empat persoalan yaitu
apakah yang dapat kita ketahui?, apakah yang boleh kita kerjakan? , sampai
dimanakah pengharapan kita? dan apakah yang dinamakan manusia? (Anshari, 1987:
83).
Pokok
permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut
benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana
yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang
termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang utama filsafat ini kemudidan bertambah
lagi yakni, pertama teori tentang ada dan kedua politik. Kelima cabang utama
ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang – cabang filsafat yang mempunyai
bidang kajian yang lebih spesifik, meliputi filsafat pengetahuan, filsafat
moral, filsafat seni, metafisika, filsafat pemerintahan, filsafat agama,
filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat hokum, filsafat sejarah dan
filsafat matematika (Suriasumantri, 1985: 32-33).
Lebih
lanjut aliran – aliran dalam filsafat moral(etika) antara lain aliran etika
naturalism, hedonism, utillitarianisme, idealism, vitalisme dan theologies (Bakry,
1997:96). Etika atau filsafat moral merefleksikan bagaimana manusia harus hidup
agar dia berhasil sebagai manusia, karena itu tidak mengherankan bila semua
filsuf besar menulis bidang etika. Waktu yang mencakup menjangkau dua ribu
empat ratus tahun, mulai dari Plato sampai Friedrich Nietzche. Menurut Palto,
etika merupakan hal kebijaksanaan, yang merupakan sarana ampuh untuk
menghantarkan orang hidup etis, Aristoteles mengatakan, orang yang hanya dapat
diajari etika apabila ia sudah memahami sikap etis dan etika berkaitan erat
dengan etika , praxis dan politik. Epikuros mengatakan etika sebagai seni
hidup, sedangkan prinsip dasar etika menurut Stoa adalah penyesuaian diri
dengan hokum alam.
Agustinus
mmengatakan hidup yang baik dalam arti moral adalah hidup menuju kebahagiaan,
sedangkan menurut Aquinas, etika yang berkaitan erat dengan iman kepercayaan
kepada Allah pencipta. Etika Spinoza adalah etika orang dalam kesendirian.
Menurut Butler, moralitas pada hakikatnya bukan perasaan melainkan kemampuan
untuk merefleksi. David Hume, menolak segala system etika yang tidak
berdasarkan fakta – fakta dan pengamatan empiris. Lain lagi dengan Immanuel
Kant dalam karya kritis pertamanya yaitu kritik terhadap akal budi, Kant mengandaikan paham kebaikan moral, ia membuka
penyelidikannya dengan sebuah pernyataan tentang apa yang baik tanpa
pembatansan sama sekali yang baik tanpa pembatasan sama sekali hanya satu,
kehendak baik. Menurut Schopenhauer, titik tolak etika adalah situasi dimana
manusia menemukan diri.
Utilitarisme
J.S.Mill, bertolak dari situasi dimana berhadapan dengan berbagai kemungkinan
untuk bertindak dan kita tidak tahu alternative mana yang kita pilih. Tolak
ukur tindakan bermoral terdiri dari empat diantaranya deontologist yaitu
moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu sendiri. Prinsip
Utilitarisme adalah pencarian nikmat yang merupakan tolak ukur moralitas dan
sebagai penolakan terhadap anggapan bahwa tujuan manusia adalah nikmat jasmani
lebih menguntungkan dilihat dari kepentingan.
Filsuf
ketiga belas, Friedrich Nietzsche , secara fanatic menyangkal adanya Allah
bukan berdasarkan pertimbangan filosofis rasional, melainkan karena dengan
adanya Allah, ia tidak melihat ruang bagi pengembangan diri manusia. Moralitas
Kristiani oleh Nietzsche dianggap moralitas khas budak. Unntuk melawan
moralitas budak itu, Nietzsche menempatkan moralitas tuan. Dalam moralitas
tuan, baik adalah sama dengan luhur dan buruk sama dengan hina.
Ketiga
belas tokoh tersebut memberikan jawaban yang bervariasi menanggapi pertanyaan
bagaimana manusia harus membawakan diri, agar ia mencapai potensialitasnya yang
tertinggi, agar kehidupannya betul – betul bermutu. Pendapat ketiga belas tokoh
tersebut membuat kita sadar betapa banyak sudut pandang dan segi realitas
manusia yang harus diperhatikan kalau kita mau menanganinya secara bertanggung
jawab (Frans, 1997: 186 – 192).
D. Moralitas Religius di Era Post Post
Modern
Filsafat merupakan sumber dan awal bagi tumbuh dan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di semua Negara di dunia ini.
Hypothetical analyses menduga bahwa tradisi filsafat pada jaman Yunani Kuno
dapat dihubungkan dengan tradisi kenabian di tempat yang lain pada jaman yang
sama. Tradisi filsafat Barat mengalami surut pada jaman pertengahan karena
dominasi Gereja. Revolusi Copernicus dianggap sebagai pendobrak dan awal dari
filsafat modern yang ditandai munculnya tokoh-tokoh Rene Descartes, Immanuel Kant,
dsb. Kaum Positivist yang dipelopori Auguste Compte melakukan antithesis
terhadap filsafat Modern seraya berusaha membuangnya jauh-jauh, sambil berusaha
membangun paradigm Scienticism. Ibarat sarang lebah, gerakan Positivism inilah
yang kemudian menjadi inspirasi dan basis bagi berkembangnya ilmu pengetahuan
dan kebudayaan kontemporer hingga kini. Ilmu-ilmu humaniora yang meliputi
Agama, Bahasa, Filsafat, Sastra, Budaya, Seni dst dianggap sebagai tidak
scientific, oleh karena itu perlu diubah metodologinya dengan metode sain
(Marsigit, 2013:1)
Kaum Positivisme (Auguste Compte) menganggap agama
berada di wilayah primitive dan tradisional. Agama dalam hal tertentu dianggap
sebagai irrasional, oleh karena itu dapat menghambat kemajuan untuk memperoleh
masyarakat modern. Dengan demikian agama tidak dijadikan sentral dalam tata
cara dan perikehidupan masyarakat Positisme. Selanjutnya Positivisme
mengembangkan metode “sain” sebagai jawaban untuk menaklukan dunia; maka berkembanglah
segala macam cabang ilmu pengetahuan berbasis sain termasuk ilmu-ilmu dasar dan
ilmu alam (natureweistenssafften). Sedangkan ilmu-ilmu humaniora termasuk
agama, seni, budaya, filsafat (geistesweistensafften) dipinggirkan. Kinerja
kaum Positivisme begitu mengagumkan karena telah menghasilkan ilmu-ilmu baru,
teknologi dan masyarakat industri. Komunitas spiritual diliputi kecanggungan
dan kegamangan dalam bayang-bayang Reduksionisme untuk tidak punya pilihan lain
kecuali terlibat setengah hati.(Marsigit, 2013: 6)
Paradigm sains modern tersebut berimplikasi dan
berpengaruh terhadap pemikiran moralitas, sehingga persoalan moral tidak jarang
disikapi oleh pemikiran modern dengan pendekatan naturalistic, rasional empiris
dan relativistic. Dengan pendekatan naturalistic, persoalan moral dipandang
sebagai persoalan duniawi, terkait dengan kebutuhan hidup kini dan lain
sebagainya. Dengan pendekatan rasional empiris, persoalan moral disikapi dengan
lebih mengedepankan pertimbangan rasional, untung rugi, dengan menunjuk
berbagai kenyataan empiris, realitas social dan lain sebagainya. Konsekuensi dari
kedua pendekatan tersebut, maka persoalan moralpun menjadi bersifat
relativistic. Baik dan buruk menjadi sangat tergantung pada berbagai factor,
seperti tergantung pada konteksnya, situasinya, latar belakangnnya,
pertimbangan yang digunakan, bahkan tidak mengherankan jikatergantung pada
masing – masing individu (http://staff.uny.ac.id)
E. Membangun Moralitas Religius dalam
Pendidikan di Era Post Post Modern
Bersumber
dari (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral), bahwa moral jaman sekarang memiliki
nilai implicit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral dari
sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah
sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh
sesamanya. Moral adalah produk budaya dan agama.
Membangun
moralitas religious dalam dunia pendidikan khususnya pada siswa dibutuhkan
kerjasama yang sangat intens dari semua pihak. Menurut Melanie dan
Judith(2006,671) untuk membangun moralitas dalam pendidikan salah satu cara
adalah dengan menerapkan pendidikan moral dalam kurikulum sekolah, melalui
kurikulum sekolah mengenalkan media primer dimana sekolah mengembangkan
pendidikan moral dengan tujuan siswa memperoleh interpersonal moralitas dasar
yang direfleksikan dengan system social dan dalam interaksi social. Tujuan
akhir ini sesuai dengan konteks dari teori Kohlberg yang mengarahkan siswa ke
post convensional, tahap – tahap prinsip dari putusan moral.
Sesuai
dengan teori perkembangan moral Kohlberg, maka untuk membangun moralitas religius
anak, alangkah lebih tepatnya kalau kita awali dengan menelusuri tahap
perkembangan moral mereka.
Perkembangan
moral dapat dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget mempercayai bahwa
struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar pengembangan
moralnya (Slavin, 2006: 51). Lebih lanjut, Piaget membagi tahap perkembangan
moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahapan heteronomous dan tahap
autonomous. Menurut Piaget, intensi dan konsekuensi merupakan gambaran
perubahan perkembangan moral tahap heteronomous ke tahap autonomous. (Cahyono,
1985: 32)
Mengembangkan
teori Piaget, Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu
tingkat prekonvensional, tingkat konvensional dan tingkat postkonvensional
(Salvin, 2006: 54). Pada tingkat prekonvensional, anak sangat tanggap terhadap
norma – norma budaya, misalnya baik atau buruk, salah atau benar. Pada tingkat
konvensional, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung dan mengakui
keabsahan tertib social sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin
hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok
disekitarnya. Pada tingkat post konvensional, terdapat usaha dalam diri anak untuk
menentukan nilai – nilai dan prinsip – prinsip moral yang memiliki validitas
yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu
dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok.(Cahyono, 1985: 37 – 45)
Dengan
memahami perkembangan moral anak tersebut, maka akan lebih mudah bagi kita
untuk membangun moralitas religious pendidikan khususnya siswa. Dalam Islam, masalah moralitas tidak jauh
dari pengertian akhlak. Akhlak merupakan kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat
dalam diri manusia yang dengan mudah akan melahirkan perbuatan – perbuatan dan
tingkah laku tertentu. Berkaitan dengan adanya kebiasaan tertentu yang ada pada
diri seseorang, Al Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya
dapat menerima suatu pembentukan, untuk itu sangat ditekankan pentingnya
latihan dan pendidikan akhlak atas manusia. Jiwa manusia itu dapat dilatih,
dibimbing, diarahkan dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. (Sudradjat, 2012: 8 – 9)
Dalam
rangka tujuan membangun moralitas religious yang baik pada diri anak, maka
latihan moral harus dimulai dari sejak dini. Proses ini dapat dilakukan melalui
pembiasaan dan melalui proses logis atas setiap perbuatan, baik yang menyangkut
perbuatan baik atau buruk. Melakukan identifikasi secara rasional atas setiap
akibat dari perbuatan baik dan buruk bagi kehidupan diri dan
sosialnya.(Sudradjat, 2012: 14).
Dengan
demikian, untuk membangun moralitas religious dalam pendidikan khususnya siswa
, di era post post modern saat ini adalah dengan memulai dari diri
kita(sehubungan dengan peran kita sebagai seorang guru) kemudian langkah
selanjutnya adalah dengan memberikan latihan moral kepada siswa yang dapat dilakukan
dengan menerapkan pendidikan moral dan religious dalam kurikulum sekolah. Hal tersebut akan
mudah kita lakukan, apabila kita sebagai seorang guru senantiasa berpikir
kritis dalam setiap yang ada dan yang mungkin ada , yang muncul dan berkembang
dalam kegiatan pembelajaran kita khususnya dalam hubungannya dengan
perkembangan moral siswa , serta tak lupa selalu mengiringi setiap langkah kita
itu dengan pikiran murni yaitu ikhlas.
F. Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat penulis sampaikan dalam hubungannya dengan membangun moralitas
religious dalam pendidikan di era post post modern ini adalah moralitas
religious sangatlah dibutuhkan dan harus diterapkan dalam setiap kegiatan
belajar mengajar kita. Hal ini dilakukan untuk membantu siswa agar mampu
bertahan dalam laju perkembangan di era post post modern ini, dan diharapkan
agar mereka nantinya tidak tergerus oleh pengaruh negative dari perkembangan
dan perubahan di era ini. Tentu saja bekal yang paling utama adalah penguatan
di ranah spiritual dan moral.
G. Refleksi Diri
Dalam era post post
modern, seperti yang disampaikan oleh Prof. Marsigit dalam makalahnya Urgensi Filsafat
Dalam Pendidikan Islam Untuk Membentuk Karakter (https://www.academia.edu/3634496/Urgensi_Filsafat_dalam_Pendidikan_Islam_untuk_Pendidikan_Karakter), bahwa dalam dunia kotemporer,
humoria tidak dianggap scientific, dan kalau kita cermati dan telusuri setiap
hal dan kejadian yang ada sekarang ini, semuanya sudah terpengaruh oleh sang
power now. Apakah nantinya moralitas religius juga akan hanya sebagai symbol
dan tulisan belaka?
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang S. (1987).
Ilmu , Filsafat dan Agama. Jakarta:
Bina Ilmu
Cahyono, C.H. (1985). Tahap – Tahap Perkembangan Moral. Malang:
IKIP Malang
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.(1991).Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Hasan Hanafi. (2012). Moralitas dan Integritas Masyarakat Islam.
(online) http://directory.umm.ac.id/.../MORALITAS%20DAN%20IN
[10 Maret 2014 ]
Kaelan. (2001). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma
Kansil, Christine T. (1995).
Pokok – Pokok Etika Profesi Hukum.
Jakarta: Pradnya Paramita
Liliana Tedjosaputro.(2003).Etika Profesi dan Profesi Hukum.
Semarang: Aneka Ilmu
Marsigit.(2013). Materi Perkuliahan Filsafat Ilmu Tanggal 4
Maret 2013 Pukul 15.40. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta
Marsigit.(2013). Peta
1- Philosohy of Moral (online).
Tersedia: http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/philosophi-of-moralby-marsigit.html
[10 Maret 2014]
Marsigit.(2013). Peta
1- Pendidikan Dunia _ Dibuat oleh
Marsigit dari Paul Ernes (online). Tersedia: http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/peta-1-peta-pendidikan-dunia-dibuat.html#comment-form
[10 Maret 2014]
Marsigit.(2013). Peta
2- Pendidikan Dunia _ Dibuat oleh
Marsigit dari Paul Ernes (online). Tersedia: http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/peta-1-peta-pendidikan-dunia-dibuat.html#comment-form
[10 Maret 2014]
Marsigit.(2013). Peta 3- Pendidikan Dunia _ Dibuat oleh
Marsigit dari Paul Ernes (online). Tersedia: http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/peta-1-peta-pendidikan-dunia-dibuat.html#comment-form
[10 Maret 2014]
Marsigit.(2013). Peta 4- Pendidikan Dunia _ Dibuat oleh
Marsigit dari Paul Ernes (online). Tersedia: http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/peta-1-peta-pendidikan-dunia-dibuat.html#comment-form
[10 Maret 2014]
Marsigit.(2013). Urgensi Filsafat Dalam Pendidikan Islam
Untuk Pendidikan Karakter (online). Tersedia:https://www.academia.edu/3634496/Urgensi_Filsafat_dalam_Pendidikan_Islam_untuk_Pendidikan_Karakter
[10 Maret 2014]
Melanie & Judith.
(2006). Handbook of Moral Development. New
Jersey: Lawrence Erlbaun Associates Publisher
Poespoprodjo,W. (1988).
Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori
dan Praktek. Bandung: Remaja Karya
Reimer,J. (1979). Promoting Moral Growth From Piaget To
Kohlberg. New York: Longman Inc
Slavin, R.E. (2006) . Educational Psychology Theory and Practices.
United States of America: Johns Hopkins University
Sumaryono, E. (1995). Etika Profesi Hukum, Norma – norma dalam Penengak
Hukum. Yogyakarta: Kanisius
Suriasumantri, Jujun. (1985).
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Suseno, Franz M. (1997).
13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke – 19. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Taufik,A. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas ,
Edisi I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !